“Bukan Tulehu bukan Paso,
Bukan Islam bukan Kristen!”
Produksi :
Visinema Pictures
Sutradara : Angga Dwimas
Sasongko
Para Pemain: Chicco Jerikho,
Shafira Umm, Jajang C. Noer, Abdurrahman Arif, Aufa Asegaf, Bebeto
Leutually, Ridho Slank
Durasi: 120 Menit
Mulai Tayang : 19 Juni 2014
oleh: Yan Widjaya
|
LANGKA
film Indonesia bertutur tentang SARA, konflik agama di daerah,
khususnya antara Islam dengan Kristen di Maluku, namun sekarang
produser Glenn Fredly dengan
sutradara Angga Dwimas Sasongko
patut dipuji berhasil memproduksi sebuah film drama jempolan.
Skenario kreasi M. Irfan Ramli
bersama Swatika Nohara bukan
rekaan melainkan berdasarkan kisah nyata kehidupan Sani Tawainella,
tukang ojek yang pernah mengantar Angga berkeliling Ambon selama
sepuluh hari.
Sani dari
negeri Tulehu adalah mantan pesepakbola yang pernah mewakili
Indonesia pada Piala Pelajar Asia tahun 1996 di Brunei. Kegagalannya
dalam proses seleksi PSSI membuatnya pulkam dan alih profesi jadi
tukang ojek pada tahun 1999. Justru pada awal 2000-an kerusuhan
merebak di Ambon. Dalam suasana kacau ia menghimpun anak-anak Tulehu
untuk berlatih sepakbola di pantai, tujuannya menghindarkan mereka
dari konflik. Ia memotivasi anak-anak didiknya untuk bersemangat
maju. Bukan tanpa pengorbanan karena penghasilannya berkurang hingga
istrinya, Haspa, mesti berhutang ke warung. Toh istri yang berupaya
terus mendukung suami ini sempat ngambek dan pulang ke rumah
orangtuanya (faktanya sampai kini tetap rukun bersama tiga anak
mereka).
Tak urung Sani
sempat bertikai dengan Rafi, temannya pemilik kapal penangkap ikan
hingga berhenti menjadi pelatih. Malah ditawari pak guru Josef untuk
melatih anak-anak sekolah Kristen di Paso. Berujung menjadi kepala
pelatih yang membawa kesebelasan Maluku, gabungan anak-anak Paso dan
Tulehu, ke kejuaraan kompetisi nasional U-15 pada tahun 2006.
Semboyannya, “Bukan Paso bukan Tulehu, bukan Kristen bukan Islam,
beta Maluku!”
Terbukti lewat
sepak bola Sani telah berhasil, dan film ini pun mestinya
menyadarkan penonton, bahwa keberagaman itu hakekatnya indah,
janganlah kita terpecah belah hanya karena beda agama, keyakinan,
atau pilihan terhadap partai dan pilpres misalnya, melainkan bahwa
kita Indonesia.
Tokoh Sani
dimainkan dengan pas dan penuh emosi oleh Chicco Jerikho
yang belum banyak rekam jejaknya di dunia film, namun kepiawaiannya
membuat ia pantas sekali untuk dicalonkan sebagai aktor Indonesia
terbaik tahun ini. Pemeran istrinya, Shafira Umm,
yang keturunan Arab sejatinya bukan artis film atau sinetron
melainkan seorang host acara teve, juga menampilkan permainan apik.
Pemain senior
Jajang C. Noer kebagian peran
sebagai ibu warung yang tak segan memberikan kalung emasnya demi
mendukung biaya perjalanan tim ke Jakarta. Semangat gotong royong
diperlihatkan ketika semua warga menyumbang, termasuk pendeta dan
jemaat gerejanya. Begitu pun saat menonton di televisi pertandingan
yang tengah berlangsung di Jakarta, semuanya bisa guyub dan rukun.
Sedangkan keseluruhan karakter anak-anak diperani oleh para pemain
asli Maluku, juga lokasi syuting sebagian besar di Tulehu. Hanya
untuk menggambarkan suasana kerusuhan di Ambon, syuting dialihkan ke
kawasan kota tua di Jakarta Utara.
Sebagai
sutradara Angga (29 tahun) baru membuat tiga film sebelumnya (Foto,
Kotak, dan Jendela, Jelangkung 3, dan Hari untuk
Amanda), namun lewat karyanya yang keempat ini bukan tidak
mungkin ia bakal dinobatkan menjadi sutradara terbaik dalam FFI
2014! *** YaWi
- Nilai: 80
|