HOME SINEAS KABAR



     

JALANAN

Dokumenter Tiga Pengamen Mengais Hidup di Jakarta
Produksi : DesaKota Prod, Miles Film
Sutradara : Daniel Ziv
Para Pemain: Boni, Ho, Titi
Durasi: 107 Menit
Mulai Tayang : 10 April 2014

oleh: Yan Widjaya

FILM dokumenter masuk bioskop dan laris, fenomena ini baru terjadi beberapa tahun belakangan. Di Amerika Serikat sendiri terbukti film buatan Michael Moore, Fahrenheit 9/11 (2004) yang merekam peristiwa dahsyat runtuhnya Menara Kembar WTC dengan bujet $ 6 juta menghasilkan $ 120 juta dari bioskop Amerika saja. Moore memang sineas spesialis dokumenter pemenang Oscar yang sebelumnya bikin Bowling for Columbine (2002) tentang kebebasan senjata api di AS, lalu Sicko (2007) tentang bahaya fastfood.

Jaringan bioskop 21 pun sudah menayangkan film dokumenter kendati terbatas layarnya. Antara lain dua karya Tino Saroengallo, yang merekam pergolakan mahasiswa untuk melengserkan Presiden Suharto Student Movement in Indonesia (2002), lalu hasilnya kemudian Setelah 15 Tahun… (2013).

Kini beredar Jalanan karya Daniel Ziv, dengan tagline: Sebuah film tentang Indonesia, musik jalanan, asmara, penjara, politik, seks, korupsi, hamparan sawah, globalisasi, dan patah hati! Ziv adalah sineas asal Kanada yang sejak tahun 1999 hijrah ke Indonesia dan bekerja untuk media majalah. Patut diacungi jempol ketekunan dan ketrampilannya dalam merekam kehidupan di jalanan Jakarta selama enam tahun sampai membuahkan film ini. Setelah menyeleksi entah berapa ratus pengamen akhirnya ia memilih untuk mengikuti gerak langkah tiga pengamen dengan garis kehidupan masing-masing yang tidak saling berkaitan satu sama lain meskipun berprofesi sama. Boni yang bersama istri tinggal di kolong jembatan dan bisa mandi air bersih sepuasnya dari bocoran saluran PAM, Titi yang dari kampung nekad mengadu nasib di ibukota dan justru mengirim uang sebulan sekali untuk biaya hidup orang-tuanya, serta Ho dengan rambut dikelabang hingga sepintas mirip preman urakan namun ternyata berhati lembut. Apa saja kerjanya, berapa penghasilan mereka, serta celetukan-celetukan komentar terhadap segala sesuatu yang terjadi termasuk pemilu semuanya direkam apa adanya. Keseharian kaum marjinal yang terpinggirkan dari hiruk-pikuk ibukota tanpa rekayasa dan bumbu-bumbu penyedap sebagaimana laiknya sinetron drama fiksi.

Dihiasi lagu-lagu orisinil berkarakter karya asli para musisi jalanan sebagai benang merah, penonton diajak menelusuri kesepian, duka, asmara, kisruh perceraian, perkawinan, hingga dorongan seksual di tengah riuh-rendah Jakarta yang dikendalikan oleh globalisasi dan korupsi. Penyajian dan cara bertutur Daniel Ziv membuat film dokumenter ini jauh dari membosankan, sama sekali tidak menjemukan, bahkan di sana-sini berhasil memancing tawa di samping keharuan, toh mereka bertiga adalah manusia-manusia tangguh yang pantang menyerah, apalagi mengemis mohon sedekah atau dikasihani. Boni yang siap-siap pindah dari kolong jembatan karena digusur petugas kamtib, Titi yang berhasil menyelesaikan sekolah malamnya hingga sekarang mampu membaca dan menulis, Ho yang telah menyunting seorang janda beranak satu dan mulai membina rumah tangga bersahaja. Seperti mantra favorit Ho pribadi, “Hidup itu harus dihidupkan!”

Terbukti film ini yang peredarannya kemudian ditangani Mira Lesmana dari Miles Films, meskipun dirilis secara terbatas hanya di Plaza Senayan dan Blok M Square, plus Blitz Grand Indonesia, toh bisa menarik perhatian peminat serius hingga jumlah penontonnya pun terbilang lumayan. Mengenai kualitas, terbukti sudah menyabet piala Film Dokumenter Terbaik dalam Festival Film di Bushan. *** YaWi

- Nilai: 70


Review oleh:  Yan Widjaya, seorang wartawan film senior, pengulas, penulis, dan novelis.

Twitter @yan_widjaya