FILM
dokumenter masuk bioskop dan laris,
fenomena ini baru terjadi beberapa tahun belakangan. Di Amerika
Serikat sendiri terbukti film buatan Michael Moore, Fahrenheit
9/11 (2004) yang merekam peristiwa dahsyat runtuhnya Menara
Kembar WTC dengan bujet $ 6 juta menghasilkan $ 120 juta dari
bioskop Amerika saja. Moore memang sineas spesialis dokumenter
pemenang Oscar yang sebelumnya bikin Bowling for Columbine
(2002) tentang kebebasan senjata api di AS, lalu Sicko (2007)
tentang bahaya fastfood.
Jaringan bioskop 21 pun sudah
menayangkan film dokumenter kendati terbatas layarnya. Antara lain
dua karya Tino Saroengallo, yang merekam pergolakan mahasiswa untuk
melengserkan Presiden Suharto Student Movement in Indonesia
(2002), lalu hasilnya kemudian Setelah 15 Tahun… (2013).
Kini beredar Jalanan karya
Daniel Ziv, dengan tagline:
Sebuah film tentang Indonesia, musik jalanan, asmara, penjara,
politik, seks, korupsi, hamparan sawah, globalisasi, dan patah hati!
Ziv adalah sineas asal Kanada yang sejak tahun 1999 hijrah ke
Indonesia dan bekerja untuk media majalah. Patut diacungi jempol
ketekunan dan ketrampilannya dalam merekam kehidupan di jalanan
Jakarta selama enam tahun sampai membuahkan film ini. Setelah
menyeleksi entah berapa ratus pengamen akhirnya ia memilih untuk
mengikuti gerak langkah tiga pengamen dengan garis kehidupan
masing-masing yang tidak saling berkaitan satu sama lain meskipun
berprofesi sama. Boni yang bersama istri tinggal di kolong jembatan
dan bisa mandi air bersih sepuasnya dari bocoran saluran PAM, Titi
yang dari kampung nekad mengadu nasib di ibukota dan justru mengirim
uang sebulan sekali untuk biaya hidup orang-tuanya, serta Ho dengan
rambut dikelabang hingga sepintas mirip preman urakan namun ternyata
berhati lembut. Apa saja kerjanya, berapa penghasilan mereka, serta
celetukan-celetukan komentar terhadap segala sesuatu yang terjadi
termasuk pemilu semuanya direkam apa adanya. Keseharian kaum
marjinal yang terpinggirkan dari hiruk-pikuk ibukota tanpa rekayasa
dan bumbu-bumbu penyedap sebagaimana laiknya sinetron drama fiksi.
Dihiasi lagu-lagu orisinil
berkarakter karya asli para musisi jalanan sebagai benang merah,
penonton diajak menelusuri kesepian, duka, asmara, kisruh perceraian,
perkawinan, hingga dorongan seksual di tengah riuh-rendah Jakarta
yang dikendalikan oleh globalisasi dan korupsi. Penyajian dan cara
bertutur Daniel Ziv membuat film dokumenter ini jauh dari
membosankan, sama sekali tidak menjemukan, bahkan di sana-sini
berhasil memancing tawa di samping keharuan, toh mereka bertiga
adalah manusia-manusia tangguh yang pantang menyerah, apalagi
mengemis mohon sedekah atau dikasihani. Boni yang siap-siap pindah
dari kolong jembatan karena digusur petugas kamtib, Titi yang
berhasil menyelesaikan sekolah malamnya hingga sekarang mampu
membaca dan menulis, Ho yang telah menyunting seorang janda beranak
satu dan mulai membina rumah tangga bersahaja. Seperti mantra
favorit Ho pribadi, “Hidup itu harus dihidupkan!”
Terbukti film ini yang peredarannya
kemudian ditangani Mira Lesmana dari Miles Films, meskipun dirilis
secara terbatas hanya di Plaza Senayan dan Blok M Square, plus Blitz
Grand Indonesia, toh bisa menarik perhatian peminat serius hingga
jumlah penontonnya pun terbilang lumayan. Mengenai kualitas,
terbukti sudah menyabet piala Film Dokumenter Terbaik dalam Festival
Film di Bushan. *** YaWi
- Nilai: 70
Review oleh:
Yan Widjaya, seorang wartawan film senior, pengulas, penulis, dan
novelis.
Twitter @yan_widjaya
|