Memelopori Film Silat Era
Abad XXI
Produksi :
Miles Films, KG Studios
Sutradara : Ifa Isfansyah
Para Pemain: Christine Hakim, Eva Celia, Nicholas Saputra, Reza
Rahadian, Tara Basro, Slamet Rahardjo, Whani Dharmawan, Prisia
Nasution, Darius Sinathrya, Aria Kusumah
Durasi: 112 Menit
Mulai Tayang : 18 Desember 2014
oleh: Yan Widjaya
|
IBU
saya bilang, “Cerita film silat bisa
disingkat hanya dalam satu kata, Pembalasan. Balas dendam atas
kematian ayah atau guru sebagai wujud bakti seorang anak atau murid.”
Benar, karena itulah intisari ratusan film silat Mandarin yang
membanjiri bioskop kita dari era 1970 sampai 1990-an, sebagian besar
produksi Shaw Brothers, Hong Kong. Nah, pakem klasik itu pulalah
yang digubah empat penulis skenario Pendekar Tongkat Emas/PTE;
Jujur Prananto, Mira
Lesmana, Ifa Isfansyah,
dan Seno Gumira Ajidarma.
Film dibuka dengan monolog
Christine Hakim sebagai Cempaka,
pendekar nomor satu, “Dunia persilatan itu bagai lorong panjang dan
gelap...” suara berat sang aktris kawakan yang familiar bagi fansnya
tak ubahnya mengulang opening Merantau.
Cempaka yang terpaksa menumpas
lawan-lawannya, kemudian malah mengasuh anak-anak mendiang sebagai
murid. Merekalah Biru, Gerhana, Dara, dan Angin. Perbuatannya sama
dengan, “Memelihara anak macan…”, sebagai lawan peribahasa,
“Membabat rumput sampai ke akar”, supaya tiada masalah di kemudian
hari.
Dan bibit penyakit memang sudah
dirancang dua murid sulung yang sekilas patuh namun terus menabur
racun dalam minuman sang guru. Puncaknya kala Cempaka memilih Dara
menjadi pewaris tongkat emas sekaligus hendak mengajarkan jurus
pamungkas pada dua murid bungsunya, Biru dan Gerhana memberontak dan
menghabisi guru mereka. Si bocah Angin ikhlas berkorban demi
meloloskan Dara. Sesuai amanat terakhir gurunya, Dara mencari Naga
Putih untuk mempelajari jurus pamungkas, dan ia pun bertemu Elang,
satria piningit yang menyembunyikan diri di kampung. Sebaliknya Biru
melampiaskan ambisi dengan memimpin persilatan dan mengabaikan para
datuk.
Eva Celia sebagai Dara,
Nicholas Saputra sang Elang,
Reza Rahadian memerani Biru, dan
Tara Basro alias Gerhana,
memang pemain watak berkualitas. Ditambah pendatang kecil
Aria Kusumah sebagai si bungsu Angin
mirip hwesio cilik gundul. Untuk menghayati silat tongkat mereka
ditempa fight instructor Xiong Xinxin
yang diimpor dari Hong Kong. Xiong adalah pelatih kawakan yang biasa
menangani film-filmnya Jet Li, bahkan mengarahkan film laga
Hollywood, The Musketeer (2001).
Hakekatnya tongkat adalah senjata
panjang yang keras dan kaku, beda dengan toya yang lentur dan luwes.
Lihat keindahan jurus toya yang diperagakan Jet Li dalam debutnya,
Shaolin Temple (1982). Keruan kedahsyatan Li yang tergembleng
20 tahun usah dibanding dengan yang baru belajar jurus kembangan
empat bulan. Mau tak mau hal ini kian menyadarkan kebenaran prinsip
Gareth Evans, Ang Lee, Zhang Yimou, dan sineas lainnya untuk
memasang pemain yang menguasai seni bela diri sejati dalam film
berbasis martial art, karena lebih mudah bagi mereka untuk belajar
seni peran ketimbang sebaliknya.
Untungnya kemantapan akting para
pemain menutupinya hingga penonton diyakinkan, bahwa mereka
betul-betul pendekar. Keunggulan PTE dibanding made in Hong Kong
1980-an yang umumnya digarap di studio adalah Sumba Timur nan
gersang sebagai alam persilatan antah-berantah dalam dunia rekaan
sutradara.
Toh saking kesengsem Quentin
Tarantino maka Ifa pun mencuplik adegan Kill Bill dengan
menongolkan anak yang memanggil ibu pada Gerhana. Balas-membalas
tiada akhirnya, karena pada antiklimaks sudah digambarkan anak
Gerhana yang diangkat murid oleh Dara, diam-diam mengintai latihan
gurunya dan berlatih keras sendiri dengan mata menyimpan bara
kesumat. Kelak bocah yang diperani Nuh Putra Damar Alam
ini bisa diramal pasti menuntut balas kematian orangtuanya dan
sejarah pun terulang… *** YaWi
Nilai: 75
Review oleh:
Yan Widjaya, seorang wartawan film senior, pengulas, penulis, dan
novelis.
Twitter @yan_widjaya
|