SEJAK
bocah berusia 12 tahun Quentin sudah
terpesona pada Margo, anak perempuan yang baru pindah menjadi
tetangganya di kota kecil Orlando. Mereka bersahabat sampai tiba
masa SMA, Margo melambung menjadi siswi paling top di sekolah yang
mudah gonta-ganti pacar, sebaliknya Q hanya bertrio dengan dua
sobatnya; Ben dan Radar, yang sama-sama dianggap siswa culun. Toh
suatu malam Margo menyelinap ke kamar Q dan memintanya bersama-sama
membalas dendam pada pacarnya yang selingkuh dengan cara
mempermalukannya. Malam yang penuh petualangan itu membuat Q
berharap Margo akan kembali padanya. Namun esoknya Margo raib untuk
selamanya…
Ortunya tak cemas atau melapor ke
polisi karena setelah berusia 18 tahun Margo sudah kabur lima kali
dan selalu kembali. Hanya Q seorang yang penasaran hingga menyidik
tanda-tanda yang ditinggalkan si dara misterius untuk melacak ke
mana perginya. Dua sobatnya membantu, termasuk dua siswi; Lacey dan
Angela. Oh ya, perlu dijelaskan dulu tentang Paper Towns,
artinya adalah nama kota fiksi yang sengaja dibuat oleh pembuat peta
hingga ketahuan kalau ada yang menjiplak petanya. Dan kota palsu itu
adalah Agloe di New York, sejauh 1900 km dari Orlando. Dengan sebuah
mobil Honda dan perhitungan cermat untuk pergi-pulang dalam empat
hari demi mengejar pesta dansa perpisahan SMA mereka berlima pun
berangkat. Benarkah Margo berada di Agloe, ataukah hanya petunjuk
palsu belaka? Lantas yang terpenting apakah Margo menerima pemuda
bercita-cita biasa-biasa saja seperti Q? Sejatinya Margo memang
gadis petualang sejati yang ingin mereguk kehidupan dengan
sepuas-puasnya (laiknya Rose DeWitt Bukater yang diperani Kate
Winslet dalam Titanic) hingga sungguh memikat kalau
riwayatnya dikisahkan secara khusus…
Saat menonton, tak terasa hati kecil
saya bercekat, “Kok alur ceritanya terasa mirip betul dengan film
Adriana arahan Fajar Nugros yang dibintangi Eva Celia dan
Adipati Dolken, ya?”
Kemiripan ide bisa saja terjadi,
namun sutradara muda Jack Schreier
rasanya belum pernah menonton film Indonesia, melainkan mengangkat
novel laris karya John Green
(yang sebelumnya sukses lewat novel dan film bergenre drama romantis
remaja The Fault in Our Stars). Dengan bujet hanya $ 12 juta,
dalam tempo tiga minggu di bioskop Amerika saja sudah menangguk $ 31
juta, belum lagi dari hasil peredaran dunianya.
Para pemain boleh dibilang para
pendatang baru, Nat Wolff (21)
baru kita lihat tampil dalam The Fault in Our Stars,
sedangkan pasangannya, Cara Delevingne
(23) akan memerani Putri Duyung dalam Pan. Dua pasang remaja
pendukung mereka bukanlah embel-embel belaka justru menjadi penyegar
dengan masalah masing-masing. Pukul rata semuanya berakting apik,
membawakan peran dengan santai tanpa beban, ringan tanpa kucuran air
mata, toh berkesan mendalam terutama karena dukungan cerita yang pas
menjadi sangat mengasyikkan untuk kalangan remaja, bahkan berpotensi
menjadi film klasik yang tidak membosankan untuk ditonton berulang
kali oleh setiap insan yang berjiwa muda... *** YaWi
Nilai: 70
|