SARAH,
seorang gadis cilik dari New York, mempertanyakan, benarkah ayahnya,
Ibrahim Hussein, adalah seorang teroris yang ikut tewas dalam
runtuhnya Menara WTC? Bukan saja masyarakat, bahkan ibunya sendiri,
Azima, mencurigai mendiang Ibrahim.
Maka Hanum yang berprofesi sebagai
jurnalis Muslim di Kantor Berita Wina, ditugasi RedPelnya ke Amerika,
untuk meliput artikel provokatif dengan tema, “Apakah dunia lebih
baik tanpa Islam?”
Berbareng suaminya, Rangga, demi
melengkapi persyaratan S3-nya ditugasi profesornya untuk mengundang
milyuner dermawan nyentrik Phillipus Brown yang juga nyaris menjadi
korban tragedi 9/11.
Rangga dan Brown mondok di apartemen
sahabat lama mereka, Stefan, yang hidup bersama kekasihnya, Jasmine.
Tepat di Ground Zero, monumen bekas WTC, berlangsung demo besar anti
Islam, yang membuat Rangga-Hanum terpisah.
Sekilas nampaknya cerita hanya
berkutet pada pasutri muda ini namun ternyata semua tokoh yang
muncul tanpa mereka sadari berkaitan erat satu sama lain. Ada apa
sebenarnya antara Brown dengan Hussein menjelang detik-detik puncak
tragedi tersebut?
Inilah film sequel 99 Cahaya di
Langit Eropa yang tetap diangkat dari buku laris karya pasutri
Hanum Salsabiela Rais-Rangga Almahendra, para agen perdamaian
Islam. Skenario juga ditulis mereka berdua bersama Alim Sudio
dan Baskoro Adi. Lokasi syuting tentu saja beralih dari Wina
ke New York, demikian pula pengarahan dari Guntur Soeharjanto ke
Rizal Mantovani. Sedangkan
tiga pemain utama yang melanjutkan peran mereka; Acha
Septriasa, Abimana Aryasatya,
dan Nino Fernandes, sebagai
Hanum, Rangga, dan Stefan. Rianti Cartwright
didapuk memerani Azima, sedangkan Hannah Al Rasyid
sebagai Jasmine, yang kisahnya dengan Stefan masih menggantung.
Menarik akting aktor asal Belanda,
Hans de Krekker, sebagai sang
philantropis Phillipus Brown yang simpatik (bisa diramalkan Hans
yang tiga tahun lalu menjadi mualaf ini bakal laris bermain dalam
film-film Indonesia berikutnya). Lagu tema Jangan Salahkan Cinta
dinyanyikan duo Arkana dengan
Andini, mungkin lebih mengena
bila dialihkan ke bahasa Inggris dengan judul baru, Don’t Blame
Muslim.
Setelah membuat 40 judul film lebih,
terasa inilah produksi Maxima Pictures yang paling ambisius.
Lokasi syuting dilakukan di New York dengan pengambilan gambar di
tempat aslinya. Inti cerita pun berani merujuk ke issue
internasional mengenai Islam dalam pandangan Barat yang sebagian
menyamakannya dengan teroris (issue serupa pernah diangkat Karan
Johar dalam film My Name is Khan, pada tahun 2010 yang
dibintangi pasangan Shah Rukh Khan-Kajol).
Kualitasnya pun sudah memenuhi
standar internasional hingga layak untuk dijadikan komoditi ekspor.
Kalaupun di sana-sini masih terasa kekurangan, harap dimaklumi
penyebabnya tidak lain tidak bukan berpulang pada masalah klasik,
bujet produksi. Misalnya saja adegan runtuhnya Menara legendaris WTC
tidak sekolosal yang dikehendaki, cenderung mirip kepanikan
orang-orang dalam sebuah gedung bertingkat yang tengah terbakar saja.
Pada hakikatnya genre film ini memang
bukan action melainkan drama yang ditampilkan lewat dialog-dialog
bernas yang diucapkan dengan mantap oleh Abimana dan Hans.
Jadi masih bisa diharapkan aksi para agen Islam akan berlanjut dalam
film berikutnya (atau film sempalannya mengenai Stefan-Jasmine),
karena Hanum-Rangga juga sudah meluncurkan buku terbaru mereka
Faith and the City. *** YaWi
Nilai: 70
|