ANINDITA LINTANG PERSADA
dibantu ibunya mengenakan gaun pengantin. Hari ini ia akan menikah.
Tapi tunggu dulu, dengan siapa? Ada empat pemuda; Daus, Banjar,
Wicak dan Geri, yang juga tengah berdandan di rumah masing-masing.
Wajah mereka berlima berseri-seri semuanya. Mereka bersatu dalam
AAGaBaN (Aliansi Amersfort Gara-gara Badai di Nederlands).
Kilas balik
pertama, Lintang mengenang keempat pemuda itu sebagai sahabat
baiknya saat tamasya bersama ke Praha. Kilas balik kedua, terjadi
dua tahun sebelumnya, kala mereka pertama berkenalan dalam dinginnya
udara di negeri Oranje (nama lain dari Dinasti Kerajaan Belanda).
Mereka sedang kuliah untuk meraih S2.
Walaupun
kuliah di kota-kota berbeda; Leiden, Utrecht, Rotterdam, Wageningen
dan Den Haag, sesuai jurusan masing-masing. Latar belakangnya pun
berbeda-beda. Ada yang mendapat bea siswa, ada yang dari keluarga
kaya raya hingga memiliki apartemen mewah. Toh semua perbedaan itu
tidak menjadi masalah, sampai saat di Praha, apa yang selama ini
terpendam mencuat ke permukaan, apa lagi kalau bukan cinta?
Jadi, siapakah yang dipilih Lintang untuk menjadi suaminya? Untuk
tidak mengurangi keasyikan saat menonton filmnya memang tidak boleh
menjadi spoiler di sini (!). Yang jelas film ini digarap dengan
sangat baik, tata kamera mengambil berbagai sudut kota legendaris di
Belanda hingga seolah-olah penonton berada di sana bersama para
tokoh cerita. Sejatinya memang Belanda mempunyai ikatan historis
ratusan tahun hingga terasa paling dekat dengan kita di antara
bangsa-bangsa bule (sampai hari ini pun masih banyak orang tua yang
fasih berbahasa Belanda dan terserap dalam kosakata bahasa Indonesia
sehari-hari).
Hanya saja
tiada tokoh orang asing satu pun yang terlibat sepanjang film (kecuali
geng penjambret tas Lintang yang sempat baku gebuk lawan Banjar),
seolah seantero Belanda hanya milik mereka berlima. Mungkin cerita
akan lebih kompleks lagi bila misalnya ada gadis bule yang jatuh
hati pada salah satu mahasiswa tersebut (sayangnya, bukan Chloe
Grace Moretz misalnya).
Berawal dari
novel laris yang uniknya ditulis bareng oleh empat orang;
Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi, dan Rizki Pandu Permana.
Dialihkan menjadi skenario dengan dialog-dialog bernas romantis
kreasi Titien Wattimena.
Sutradara
Endri Pelita boleh dipuji mengalami kemajuan pesat, dibandingkan
tiga film yang arahannya sebelum ini (Dawai Dua Asmara, Air Mata
Bunda, dan Cabe-cabean), berhasil menyiarkan kehangatan persahabatan.
Tak urung hakikatnya flashback di dalam flashback itu menyalahi
pakem penceritaan film.
Pujian pula
untuk leading lady tunggalnya, Tatjana Saphira. Akting aktris yang
baru berusia 18 ini melambung di atas tiga film pertamanya
(GetM4rried, Crazy Love, dan Runaway). Peran Lintang sangat pas
dengan sosoknya, termasuk kegalauan untuk memilih salah satu dari
empat sahabatnya.
Perihal
keempat leading men, rasanya tidak perlu disangsikan lagi; Abimana
Aryasatya, Chicco Jerikho, dan Arifin Putra, sudah memainkan beragam
karakter lewat banyak film sebelumnya, justru yang mencuri akting
adalah Ge Pamungkas, komika muda yang belakangan laris main film dan
mendukung serial komedi situasi televisi The East di Net.
Penampilan Ge
tidak melawak, malah serius sebagai mahasiswa yang terpandai jebolan
pesantren lagi, toh selalu mencetuskan tawa karena telanjur auranya
sebagai komedian.
Sebuah film yang tidak membosankan untuk ditonton berulang kali,
menginspirasi kawula muda khususnya… *** YaWi
Nilai: 75
|