SOLO. Kota
Batik. Keluarga Tjohjokusumo pun termasuk sukses sebagai pengusaha
batik. Sepintas kilas Andri nampak bahagia bersama istrinya, Eli,
dan anak semata wayang mereka, Krista. Namun kemudian si gadis cilik
membuat mukjizat dengan melakukan penyembuhan saat menempelkan
tangannya ke tubuh Tante Irma yang tengah dirawat di Rumah Sakit.
Sejak itulah
banyak orang datang minta disembuhkan ke rumah keluarga Tjohjokusumo.
Memang Krista bersedia menolong dan sering terjadi mukjizat, namun
lambat-laun kondisi tubuhnya melemah hingga ayahnya melarangnya
melakukan penyembuhaan ajaib lagi.
Cerita
bergulir ketika Krista mengorek rahasia orangtuanya dari Paman
Ramadan. Ternyata Eli pernah mengalami keguguran, hingga ia dan
Andri trauma, kendati sudah mempunyai Krista. Toh kemudian Eli hamil
lagi dan mereka sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk kelahiran
sang jabang bayi. Akibatnya Krista terabaikan. Lewat kilas-balik
terungkap dari mana pasangan Andri-Eli mendapatkan Krista…
Siapakah sebenarnya Krista? Di atas itu semua dari mana ia
mendapatkan kekuatan mukjizat? Krista masih sempat memulihkan Eyang.
Tapi Andri malah koppig (keras kepala) belum pulih dari luka
batin lamanya. Sempat seorang Romo berupaya menyadarkan kedegilan
Andri, termasuk Ramadan yang mengecam, “Kamu kurang mensyukuri!”
Berperan
sebagai ayah dan ibu muda adalah Darius Sinathrya
dan Anneke Jodi, sedangkan si
anak ajaib oleh pendatang baru Naomi Ivo
(sebelumnya bermain dalam serial teve Patriot). Sahabat Andri
dimainkan oleh Indra Birowo.
Lantas lagu thema Jatuh dari Surga dinyanyikan group The
Overtunes yang tampil cameo, menyanyi sambil memetik gitar.
Selama ini
yang mendapat predikat film drama religi Indonesia hampir selalu
berlatar belakang agama Islam, baru dalam film yang oleh produser
Ichwan Persada minta disebut
drama keluarga, berlandaskan Kristiani, tepatnya Katolik. Untuk
dicatat produksi perdana Andalan Sinema tahun lalu adalah
Hijabers in Love. Bukan tidak mungkin untuk produksi ketiga
kelak bersumber dari kalangan agama Buddha, Hindu, atau Kong Hu-cu,
untuk mendukung keberagamaan dalam sinema. Suatu upaya yang patut
kita dukung dan hargai karena tidak banyak film berbasis Katolik (tercatat
antara lain tujuh film legendaris: Soegiya, Merpati Tak Pernah
Ingkar Janji, Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi, Cinta di. Bulan
Desember, Badai Pasti Berlalu, Suster Maria, dan Karmila).
Tercatat pula
film ini didukung sepenuhnya oleh produsen Batik Keris hingga
syuting keseluruhannya berlokasi di kota Solo yang termasuk jarang
dibanding Jogjakarta apalagi Jakarta. Segmen mukjizat penyembuhan
yang sejatinya bisa menjadi bagian paling menarik sepanjang film
hanya ditampilkan sebagai kilasan tempelan silhuet belaka. Justru
adegan-adegan yang didramatisir terasa diulur-ulur berkepanjangan
hingga durasi nyaris mencapai dua jam penuh.
Tak urung
penyuntingan terasa agak kedodoran dan kehilangan beberapa informasi
penting, misalnya saja mengenai jejak si sopir, Pak Sugeng, yang
ditinggal mewek-mewek sendirian di pusat rekreasi Balekambang,
sampai film berakhir masih ‘hilang’ karena tak kunjung muncul
kembali… *** YaWi
Nilai: 50
|