HANTU wanita
legendaris dari Jakarta adalah Mariam si Manis Jembatan Ancol. Nah,
boleh dibilang setara bekennya dengan Mariam bagi warga DKI, maka di
Makassar khususnya dan Indonesia bagian timur umumnya tersebutlah
hantu Sumiati. Berbagai versi asal-usul hantu Sumiati telah beredar
luas, konon ia adalah arwah penasaran yang bunuh diri setelah
diperkosa sekawanan preman, lantas menuntut balas dalam wujud
perempuan cantik bergaun merah merona.
Film besutan
Riri (nama lengkapnya
Syahrir Arsad Dini) ini merupakan
salah satu versi yang telah difilmiskan dengan situasi masa kini.
Jeyhan dan Ade adalah pengantin baru yang semestinya tengah
menikmati manisnya bulan madu. Namun malam-malam mereka selalu
dihantui mimpi seram.
Demi
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada mendiang abangnya,
Jeyhan mengajak istrinya terbang dari Jakarta ke Maros di Sulawesi
Selatan. Mereka menemui seorang lelaki tua yang langsung mengusir
demi mendengar niat Jeyhan untuk mengetahui tentang Sumiati. Toh
kegigihan Jeyhan yang terus menunggu meluluhkan kekerasan hati
lelaki itu.
Terungkap
kisah gadis jelita Sumiati yang diperebutkan para pemuda sejak ia
duduk di SMA. Memenuhi keinginan ibunya, Sumiati menikah dengan
seorang pelaut. Namun karena tengah berhalangan ia belum bisa
menyerahkan keperawanannya pada sang suami. Saat menunggu suami
pulang, ia diculik dan diperkosa empat berandalan. Merasa aib,
Sumiati nekat gantung diri, dan arwahnya pun memburu para
pemerkosanya. Lalu apa hubungannya dengan Jeyhan? Juga siapa lelaki
tua penunggu makam Sumiati ?
Cerita dan
skenario terkesan biasa saja, begitu pula penggarapannya berkualitas
standar dalam ukuran urban horor made in Indonesia. Para
pemain terdiri dari wajah-wajah baru asal daerah yang masih perlu
belajar seni peran, kendati diakui kecantikan Dinda Surbakti
yang pernah dinobatkan jadi Putri Makassar. Dalam kesederhanaannya,
hakikatnya Sumiati terasa seklasik Nang-Nak, film hantu
popular Thailand, serta sama-sama lebih terasa dramanya ketimbang
horor.
Lantas, apa keistimewaan Sumiati?
Keistimewaannya karena merupakan film yang memelopori kebangkitan
sinema daerah, buatan putra daerah yang didukung para pemain lokal
dengan cerita yang popular bagi masyarakat setempat. Maka perolehan
penjualan karcis dari satu kota saja mampu memulangkan modal hingga
hasil dari Jakarta dan kota-kota lain anggaplah bonus belaka.
Perlu
diketahui ini bukan karya perdana Riri, karena debutnya diawali
Bombee (artinya Perseteruan) yang menuturkan tentang
bentrokan antar dua kelompok murid SMP yang berujung kehancuran
Makassar. Film ini tidak beredar luas ke seantero tanah air, hanya
tayang terbatas di dua layar di kotanya namun bertahan tujuh minggu
dan ditonton 50.121 orang. Fenomena itu nampaknya bakal ditumbangkan
Sumiati hingga bioskop berkembang menjadi sepuluh layar, dan
nampaknya mudah mencapai 100.000 penonton dari kotanya sendiri saja!
Boleh ditunggu karya penyutradaraan Riri yang ketiga, Dumba-Dumba,
sequel Bombee, yang direncanakan main awal bulan Februari
2016. *** YaWi
Nilai: 50
|