(Bali, 14/1/17) Festval Film Hak Asasi Manusia kembali digelar di
Indonesia. Setelah pada tahun 2016, diadakan di Jakarta, kali ini
festival berskala internasional ini memilih Bali sebagai tempat
untuk menyelenggarakan Malam Penganugerahan bagi sineas-sineas
peduli HAM. Menurut Damien Dematra selaku founder dan director
festival ini, peringatan ini diadakan untuk menginspirasi dunia,
bahwa di luar sana, ada banyak orang yang peduli akan HAM dan rela
memperjuangkannya, meskipun karya-karya mereka belum dikenal dunia
atau bahkan tidak diapresiasi sama sekali. Festival ini diharapkan
dapat menjadi panggung bagi para aktivis HAM yang belum dikenal
dunia, namun terus membela HAM tanpa lelah, khususnya lewat jalur
kreatif.
Hari Hak Asasi Manusia sendiri diinisiasi oleh Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) untuk memperingati Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia. Tahun ini, seperti yang dikutip dari PBB, Hari Hak
Asasi Manusia menyerukan semua orang untuk membela hak-hak orang
lain. Sikap tidak menghormati hak asasi manusia terus meluas di
seluruh dunia. Gerakan ekstrimis, membuat orang tunduk pada
kekerasan, semakin mengerikan. Pesan intoleransi dan kebencian
memangsa ketakutan kita, nilai-nilai kemanusiaan diserang.
Duta HAM Natasha Dematra menyoroti Hari HAM dari sudut pandang
anak-anak. Dia menyatakan bahwa lingkungan bebas narkoba merupakan
HAM anak Indonesia. Adanya fakta narkoba telah menyebar di
sekolah-sekolah dalam bentuk bungkusan permen, yang baru-baru ini
disampaikan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), semakin mengancam
anak-anak Indonesia.
Hak-hak perempuan juga menjadi sorotan dalam festival ini lewat
pemutaran film musik I Will Survive karya sutradara remaja Natasha
Dematra (18). Meskipun film ini tidak ikut diperlombakan untuk
menghindari konflik kepentingan, namun film karya pemegang rekor
dunia sutradara perempuan termuda di dunia ini berhasil
mengharu-birukan para sineas mancanegara yang hadir.
Selain itu, hak anak disabilitas yang masih kurang dihargai di
masyarakat menjadi sorotan khusus. Hal ini digambarakan oleh film
asal Amerika Serikat, WishMakers yang mengambil tema perjuangan
anak-anak disabilitas yang tidak ingin dianggap sebagai ‘beban’ bagi
masyarakat karena keterbatasan mereka.
Festival ini sendiri berlangsung dari tanggal 14 Januari sampai 17
Januari 2017. Dalam acara ini turut hadir karya sineas asal India,
Dr. Lavlin Thadani, dengan filmnya Maulana Azad, the Indian
Nationalist yang mengambil kisah perjuangan seorang tokoh nasionalis
Maulana Azad yang berjuang bersama Mahatma Gandhi dan Jawaharlal
Nehru. Lalu sineas asal Slowakia, Lubomir Viluda dan Ivan Krsiak
dengan film mereka Seven sins of civilization yang mengambil potret
HAM para migran. Lalu, sineas asal Amerika Latin, Lucia Barata
dengan filmnya Yellow River yang mengambil sudut pandang HAM dari
kehidupan seorang gadis yang ditelantarkan oleh ayahnya.
Ratusan film dari seluruh dunia ikut meramaikan festival ini dan
pemenangnya akan diumumkan dalam waktu dekat ini. World Human Rights
Awards bekerja sama dengan World Documentary Awards, International
Film and Photography Festival, Cinema Grand Prix, World Pluralism,
International Performing Arts & Movie Awards dan Royal World Prize.
Dan didukung oleh Dewan Kreatif Rakyat (DKR), World Film Council,
Film Festivals Alliance dan Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai
media partner.
.
|