JAKARTA
– Sepintas, judul catatan ini, terlalu melo atau bahkan seperti
sebuah penjiplakan. Tapi apa boleh buat. Setelah berputar-putar
mencari judul yang sesuai– dipadukan dengan apa yang saya saksikan
Senin 21 September 2015 lalu, hanya judul ini yang bisa mewakili.
Awal pekan ini saya diundang ke acara pemberian penghargaan kepada
para pembuat film dari berbagai negara di Studio XXI, Kartika
Chandra, Jakarta. Mendapat undangan seperti itu, bagi saya sesuatu
yang baru. Sebab saya tidak pernah terlibat dalam dunia perfilman.
Selama menjalankan profesi wartawan, kalaupun berkenalan dengan
orang film tapi hanya sebatas itu.
Satu-satunya liputan saya tentang film ketika mewawancarai Meriam
Belina, di tahun 1980-an. Hanya sehari dia memenangi gelar Aktris
Terbaik Festifal Film Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta.
Itu saja. Dan ketertarikan saya ketika itu lebih disebabkan oleh
dara lelaki yang ingin melihat dari dekat seorang bintang top,
cantik dan seksi. Redaktur harian “Sinar Harapan”, media tempat saya
bekerja, sempat memandangi saya dari kaki sampai ke kepala, sewaktu
saya menyerahkan naskah dan foto Meriam Belina. Dia, almarhum Moxa
Nadeak, sempat kaget. Sebab sehari-hari saya bertugas sebagai
wartawan Istana. Bukan wartawan film.
Nonton film, suka. Tapi tidak madatan. Juga tidak hafal semua film
dan bintang yang meraih penghargaan tertinggi. Sehingga pengetahuan
saya tentang film sangat terbatas.
Tapi saya beruntung dan berterima kasih kepada inisiator acara
tersebut - Damien Dematra. Dia sahabat saya yang baru saya tahu
belakangan, sebagai seorang sutradara asal Indonesia peraih sejumlah
penghargaan bergengsi dari komunitas film dunia.
Acara di Studio XXI tersebut sederhana. Antara lain karena tidak
gemerlap seperti lazimnya sebuah acara yang menghadirkan
bintang-bintang perfilman. Undangan yang hadir pun, terbatas. Karena
memang diseleksi sendiri oleh Damien Dematra selaku pendiri Dewan
Kreasi Rakyat (DKR). Tidak sampai 150 orang.
Kendati begitu acaranya cukup berbobot dan terutama berdimensi
global. Sebab selain orang-orang film dari Hollywood dan Bollywood -
berbagai cineas banyak negara, juga hadir. Menurut Damien, para
sineas yang hadir di acara itu, merupakan orang-orang top di dunia
mereka. Tapi saya tidak tertarik membahasnya.
Yang saya tertarik, karena mereka yang diberi penghargaan adalah
mereka atau topik yang berbicara soal kemanusiaan dan perdamaian.
Tema film seperti ini, dari sisi komersil memang tak memberi banyak
profit. Namun ada kecenderungan, para cineas dunia pun saat ini,
cukup sadar bahwa membuat film yang berbasis komersil semata, belum
tentu produktif bagi dunia dan dunia perfilman itu sendiri.
Menciptakan film yang bisa meraih keuntungan berjuta dolar, tak lagi
menjadi tujuan utama. Manakala mereka melihat mereka yang menderita
karena kemiskinan, perang dan kelaparan sudah mengglobal. Cepat atau
lambat film tak akan bisa ditonton, jika uang untuk membeli tiket
bioskop lebih bermanfaat untuk membeli makanan dan minuman.
Banyak hal yang mengesankan dari acara sederhana ini. Seperti
spontanitas dari yang hadir untuk memberi sumbangan bagi pembelian
masker. Banyak yang tersentuh, seperti meneteskan air mata, manakala
di layar lebar ditampilkan sebuah gambar raksasa yang menggambarkan
bagaimana anak-anak yang masih berusia di bawah 10 tahun, di
Provinsi Riau, memakai masker agar mereka bisa bernafas atau hidup.
“Harga sebuah masker hanya Rp. 1.500,- rupiah. Jadi kalau anda bisa
menyumbang Rp. 100.000,- maka akan ada puluhan anak yang bisa anda
selamatkan. Kita perlu peduli pada anak-anak, karena mereka
merupakan masa depan kita, masa depan bangsa dan masa depan dunia”,
berkata Damien Dematra.
Dan yang paling mengesankan, sebuah selingan berupa pemutaran video
yang berisikan vokal,musik, narasi dan sudut-sudut dunia tempat
anak-anak bisa bermain.
Dalam video itu, Natasha Dematra yang tak lain Puteri Damien Dematra
menyanyikan lagu “One Love For All”.
Semua undangan berdiri dan memberi aplaus manakala video Natasha
muncul di layar lebar. Aplaus baru berhenti setelah Natasha yang
juga hadir malam itu, menyampaikan apresiasi.
Video ini termasuk salah satu karya anak bangsa yang bisa
dibanggakan. Sebab dengan teks Bahasa Inggris, video ini menjadi
produk universal. Pembuatan video ini, juga dilakukan secara
profesional.
“Butuh tiga tahun kami membuat video clipnya, karena
gambar-gambarnya diambil di lima benua”, jelas Damien.
“Saya izinkan semua pihak menggandakan secara gratis video ini
melalui Youtube. Kalau mau beli di toko musik, anda harus bayar USD
5,- per copy”, ujar Damien Dematera kepada para undangan.
Bila anda ada waktu dan mau sedikit keluar dari “kerumunan”, coba
dengarkan video ini.
Natasha Dematra sendiri kelahiran 1998, gadis Indonesia yang
nenyanyikan lagu ini, tercatat salah seorang sineas penuh bakat. Dia
antara lain menyandang predikat Sutradara Film Termuda di Dunia.
*****
|