Tepat
pukul 8 malam di hari Minggu (12/4) waktu Vancouver, Canada atau
pukul 10 pagi di hari Senin waktu Jakarta, Indonesia, prestasi yang
mengharumkan bangsa Indonesia terukir di Festival Film bergengsi
Canada International Film Festival.
Film I'M Star yang
disutradarai oleh Damien Dematra dengan pemeran grup band I'M
Star (Arya, Abhi, Shinta dan Ervitha) yang menyandang autisme
meraih Rising Star Award di kategori Family Film Competition. Seolah
tidak cukup dengan penghargaan tersebut, pihak juri menganugerahkan
Rising Star Award juga untuk Film Indonesia lainnya yaitu Let's
Play, Ghost dalam kategori Film Asing Terbaik.
Menurut William Young, direktur
festival ini, kedua film Indonesia ini bersaing dengan lebih dari
500 film dari lebih dari 30 negara dan dianggap sebagai film dengan
kualitas terbaik dan layak memperoleh penghargaan khusus. Acara
Malam Penganugerahan itu sendiri berlangsung di Stadium Club
Theater, di pusat kota Vancouver, Canada dan dihadiri ratusan sineas
dari seluruh dunia.
Film I'M Star memang telah
berhasil mempesona berbagai lapisan masyarakat dari Anak-Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) hingga para pemimpin negara. Menurut
Natasha Dematra, pemeran utama di film tersebut, film I'M Star
disamping ceritanya yang sangat menginspirasi, telah membuka mata
semua pihak bahwa bahkan ABK pun apabila diberi kesempatan, dapat
bermain film dengan baik dan bahkan bisa mengalami proses
penyembuhan lewat bermain film. Kemenangan ini seolah menjadi hadiah
buat para penyandang autisme di seluruh dunia karena bertepatan
dengan Hari Autisme sedunia yang jatuh pada tanggal 2 April.
Sebaliknya, kemenangan film
Let's Play Ghost, film horor yang tidak mengandalkan "resep paha
dan dada" ini menurut sutradara Damien Dematra menjadi tamparan
keras bagi perfilman Indonesia mengingat ironi film ini yang
walaupun sudah mengharumkan nama Indonesia di 5 benua dengan
memenangkan puluhan penghargaan internasional tapi di negerinya
sendiri harus bersusah payah hanya agar bisa ditayangkan di bioskop.
Kurun waktu hampir 2 tahun dalam antrian tanpa kepastian apakah akan
ditayangkan atau tidak semakin membuktikan carut-marutnya sistem
tata edar bioskop di Indonesia yang nampaknya lebih berpihak pada
film-film asing dibandingkan pada film dari anak bangsa sendiri.
Damien juga memberikan contoh bagaimana film seperti Fast and
Furios 7 yang berbudget lebih dari 3 triliun menelan
habis-habisan film-film Indonesia sekelas Tjokroaminoto,
Ada Surga di Rumahmu, Filosofi Kopi, dll. Hal ini
diakibatkan oleh karena harga tiket yang sama antara film asing dan
film lokal, padahal dari segi dana pembuatan sudah berbeda sangat
jauh. Hal ini dianalogikan Damien seperti menawarkan Ferrari dengan
Mobnas kepada pembeli tapi dengan harga yang sama, itu sama saja
dengan menjegal dan menjagal film Indonesia di rumah sendiri.
Lambannya pemerintah dalam
menangani persoalan-persoalan di industri kreatif ini membuat Dewan
Kreatif Rakyat merasa terpanggil untuk membuat petisi nasional di
Hari Film Nasional pada tanggal 30 Maret yang lalu untuk menjadikan
film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Pengumpulan
dukungan untuk petisi nasional ini yang hingga kini terus berjalan
telah memperoleh lebih dari 18.000 dukungan dan rencananya akan
diserahkan kepada Presiden Jokowi apabila telah mencapai 50.000
dukungan. Diharapkan sebelum petisi ini diserahkan, pemerintah
terlebih dahulu dapat terketuk hatinya untuk segera membantu dan
melindungi film Indonesia yang hampir mati suri.
|