Dapatkan kita bayangkan begitu sangat mengerikannya saat bom atom
diledakkan di Jepang? Sebuah tragedi kemanusiaan yang dampaknya
menewaskan 90.000–146.000 orang di Hiroshima dan 39.000–80.000 di
Nagasaki; kurang lebih separuh korban di setiap kota tewas pada hari
pertama. Pada bulan-bulan seterusnya, banyak orang yang tewas karena
efek luka bakar, penyakit radiasi, dan cedera lain disertai sakit
dan kekurangan gizi.
Prometheus dihukum oleh Zeus karena mencuri api dan meminjamkannya
kepada manusia. Zeus menghukumnya atas kejahatan ini dengan
mengikatnya pada sebuah batu, sedangkan seekor burung elang besar
setiap hari memakan hatinya. Namun, hatinya akan tumbuh kembali
untuk kemudian dimakan lagi oleh burung elang itu keesokan harinya.
Promotheus meminjamkan api tersebut kepada seorang manusia bernama J
Robert Oppenheimer. Mitologi Yunani itu menjadi kutipan pembuka
dalam film Oppenheimer karya Christopher Nolan.
J. Robert Oppenheimer dan para ilmuwan kemudian menerima api dari
Prometheus dan menempanya menjadi sebuah senjata mematikan bagi umat
manusia. Premis inilah yang dipakai Christopher Nolan untuk menulis
dan menyutradarai film Oppenheimer yang diangkat dari buku yang
ditulis oleh Kai Bird dan Martin J. Sherwin, berjudul American
Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer.
Nolan cerdas, bahkan bisa dibilang brilian, meracik tiga ramuan
menjadi satu hidangan: ilmu pengetahuan, perang, dan politik.
Hasilnya menjadi satu masakan berdurasi 180 menit yang intens tanpa
memberikan penonton jeda untuk bernapas, meskipun akan tetap
menikmati hidangannya usai habis disantap.
Alih-alih membuat film biopic yang linear --yang kerap membuat film
tentang sejarah jadi membosankan--, Nolan tetaplah Nolan. Ia setia
dengan cirinya khasnya dalam membuat film yang kompleks.
Ia bermain dengan alur maju-mundur untuk menceritakan potongan kisah
seorang fisikawan menciptakan senjata nuklir pertama di dunia. Ia
juga mencampurkan gambar hitam-putih untuk menampilkan sudut pandang
yang bukan dari sisi Oppenheimer.
Kita disuguhkan penampilan Cillian Murphy sebagai Oppenheimer muda
yang masih mengemban pendidikan di Cambridge. Oppenheimer tampil
acak-acakan. Tidak hanya rambutnya, tapi juga isi otaknya.
Ketika Niels Bohr menemukan solusi agar Oppenheimer sebaiknya pindah
kampus ke Göttingen agar menemukan "musiknya", di sinilah kejeniusan
Ludwig Göransson sebagai komposer musik film Oppenheimer muncul.
Adegan Oppenheimer muda mulai "kerasukan" teori fisika ditemani
alunan musik dari Göransson yang menghantui untuk mengiringi
Oppenheimer dalam mencari harmoninya.
Indra pendengaran kita dimanjakan dengan musik Göransson yang
didominasi alat musik gesek bermain terus dengan nada tinggi dan
panjang sepanjang film. Kecuali ketika adegan Oppenheimer dan timnya
hendak melakukan uji coba nuklir dengan nama Trinity, di situlah
Göransson berhenti bermain.
Menghentikan segala jenis suara dan musik dalam adegan klimaks itu
merupakan keputusan yang genius dan sangat bagus. Ditambah dengan
keputusan meledakkan bom tanpa bantuan CGI sama sekali, kita dengan
sangat jelas bisa menangkap kengerian dan ketegangan dari peristiwa
penting dalam sejarah umat manusia itu. Sebuah adegan yang sangat
memukau.
Namun, klimaksnya tidak berhenti sampai di situ. Masih ada durasi
satu jam yang tersisa.
Christopher Nolan menyajikan Oppenheimer sebagai sebuah film yang
penuh penuturan sepanjang tiga jam nonstop. Kita tidak perlu ikut
pusing dengan rumus fisika yang njelimet karena Nolan tampak hanya
ingin kita dapat menangkap esensi dari paparan Oppenheimer dan
kawan-kawannya. Meskipun dengan durasi sepanjang dan plot cerita
sepadat itu, tetap saja kita bakal kewalahan jika meleng barang
sedetik. Maka dari itu, kita harus panteng, tatap, terus filmnya.
Film ‘Oppenheimer’ ini jelas merupakan film yang ditujukan kepada
Amerika karena sejarahnya. Sehingga kita sebagai orang Indonesia
yang mungkin cuma paham sejarah penjajahan Indonesia oleh Belanda
dan Jepang, tentu harus mau riset di internet yang begitu sangat
berlimpah datanya, untuk dapat memahami konteks sejarah Amerika,
terutama zaman Perang Dunia II. Istilah Bung Karno, Jasmerah, jangan
lupakan sejarah.
Paparan Oppenheimer tidak berhenti ketika Amerika sudah menjatuhkan
Fat Man dan Little Boy ke Hiroshima dan Nagasaki. Sekarang dia mesti
menghadapi sidang tertutup melawan Komisi Energi Atom (AEC) untuk
memperpanjang izin keamanannya. Ia menghadapi musuh dalam selimut
dengan Lewis Strauss yang diperankan oleh Robert Downey Jr. dengan
apik nan menawan.
Adegan bolak-balik sidang tertutup Oppenheimer melawan orang suruhan
Strauss, sementara Strauss sendiri memperjuangkan kursi di kabinet
terus berputar dengan cepat. Adegan sejam terakhir inilah yang
menunjukkan keterampilan dan kepiawaian akting Downey yang setelah
10 tahun terjebak dengan karakter Tony Stark alias Iron Man. Downey
dapat membuktikan dirinya sebagai salah satu aktor kelas atas
Hollywood yang patut diperhitungkan setelah mengasahnya kembali
lewat karakter Strauss ini.
Dalam casting, pemilihan aktor, Christopher Nolan tidak memanggil
aktor-aktor secara sembarangan untuk bermain dalam filmnya. Dari
Cillian Murphy yang akhirnya mendapat kepercayaan untuk menjadi
pemeran utama dan tampil total habis-habisan, Emily Blunt yang
berperan sebagai istri alkoholik tapi menjadi garda terdepan untuk
melindungi suaminya, Matt Damon sebagai rekan kerja yang suportif,
hingga Florence Pugh sebagai salah satu korban womanizer
Oppenheimer. Begitu juga dengan para pemeran pendukung. Mulai dari
para ilmuwan sekaligus sahabat Oppenheimer, Rami Malek yang membuka
tabir kelicikan Strauss, hingga para "musuh" Oppenheimer yang duduk
di hadapannya maupun di belakang sidang tertutup.
Selain itu, Christopher Nolan juga mengambil keputusan yang bijak
untuk tidak menampilkan ketika dua bom atom dijatuhkan di Jepang dan
juga korban yang berjatuhan akibatnya. Ia tidak mempertimbangkan
dari sisi Jepang, tapi lebih karena film itu diambil dari sudut
pandang Oppenheimer yang tidak tahu apa-apa hingga mendengar
beritanya lewat radio. Tidak heran jika Jepang punya sentimen
terhadap film Oppenheimer hingga saat ini. Peristiwa nahas itu
memang merupakan salah satu sejarah terkelam Negeri Sakura.
Kita tentu patut memberi apresiasi tinggi terhadap film Oppenheimer
yang merupakan salah satu film arahan Christopher Nolan yang terbaik.
Gambar yang diambil dengan kamera IMAX 70mm, alunan musik yang
intens, akting yang gemilang, hingga dialog yang bernas dan berisi,
membuat film biopic “Bapak Bom Atom” dengan Proyek Manhattan ini
memang layak tonton bagi masyarakat pecinta film.***
|