LAILATUL
QADAR, malam yang lebih mulia daripada seribu bulan, konon terjadi
pada tanggal ganjil di penghujung bulan Ramadhan, dan hanya seorang
saja yang beruntung mengalaminya dari bermiliar manusia karena ia
bukan tertidur melainkan tengah terjaga dan tekun berzikir sendirian
selewat tengah malam...
Toh dalam film ini ada dua orang yang bermimpi mendapat malam penuh
berkah tersebut! Dan justru mereka adalah dua mantan penjahat remaja
recehan, Ujang yang bercita-cita ingin menghipnotis orang untuk
meminta hartanya tanpa perlawanan, dan Pujo si tukang jambret.
Setelah mengalami nasib sial sempat digebuki masa, kedua anak muda
ini berkenalan dan bertekad hijrah ke tempat lain untuk memulai
hidup baru. Ujang meninggalkan adiknya dan ibunya yang tukang kue,
juga Pujo pamit pada ayahnya yang stroke dan ibunya yang entah apa
kerjanya.
Terdampar ke kampung Cahaya yang semua warganya teramat sangat
budiman, hingga saat dirampok pun mereka dengan suka cita memberikan
semua uangnya. Namun gara-gara jatuh cinta pada Aisha, putri pemilik
warung, maka Ujang mengajak Pujo insyaf dan belajar mengaji pada
Ustadz. Dari bekerja haram kini mereka menjadi garin, pembersih
mesjid. Sebulan kemudian mereka kembali ke rumah sebagai insan-insan
baru..
Inti cerita serupa dengan film Amerika, We’re No Angels (1989)
arahan Neil Jordan di mana Robert De Niro dan Sean Penn bermain
sebagai buronan yang tiba di sebuah kampung dan menyamar pastur. Ini
pun remake film klasik (1955) bertajuk sama karya Michael Curtis
dengan aktor legendaris Humphrey Bogart dibantu Aldo Ray.
Berbeda dengan film asli Hollywoodnya yang memasang aktor-aktor
berkualitas yang tak diragukan lagi, maka versi lokal ini justru
dimainkan dua pendatang baru tanpa bekal seni peran memadai;
Kawakibi Muttaqien dan Oka Soemantaradja sebagai duet Ujang-Pujo.
Nama-nama yang sama sekali tidak dikenal baik sebelum mau pun
sesudah film ini, termasuk nama Wibi Aregawa, sang sutradara. Aktris
senior Yatti Surachman sebagai ibu Ujang. Senior lainnya, A. Nugraha
sebagai ayah Aisha, dan Aishanya sendiri diperani oleh Dea Imut.
Masalahnya bagi film drama masa kini adalah sekarang banyak sekali
televisi yang setiap hari menayangkan FTV dengan kualitas cerita dan
pemain tenar yang cukup baik. Sedangkan film ini sejujurnya digarap
secara elementer serta akting para pemain ala kadarnya belaka. Jadi
janganlah dibandingkan dengan film-film drama reliji yang terpuji,
sedangkan dengan mutu FTV yang bisa ditonton secara cuma-cuma di
rumah pun masih jauh sekali di bawahnya. Hal-hal seperti inilah yang
masih belum disadari oleh sebagian besar produser pemula, bahwasanya
sebuah film bioskop kudu lebih tinggi mutu dan kelasnya ketimbang
FTV. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan menghadirkan adegan-adegan
yang tidak bisa kita tonton sehari-hari di kaca televisi. Mungkin
sebagai upaya daya tarik diselipkan seorang mantan bintang popular,
Tora Sudiro, sebagai preman tukang palak, kendati cuma 4 scene kecil
dengan riasan gigi tonggos palsu ala Diding Boneng(!). Sudah begitu
pihak produser abai pula terhadap promosi jadi tidak mustahil
seluruh bangku bioskop alamat nihil penonton sepanjang film ini
ditayangkan… ***
- Nilai: 40
|