KINARAS,
perempuan mungil pengusaha butik sukses di Jogjakarta tengah
mencemburui suaminya, Asmaradhana, berselingkuh dengan wanita lain.
Pasalnya karena setelah empat tahun menikah ia belum juga hamil.
Nasib mempertemukan Kin dengan Laras, wts highclass yang
nekad menyanderanya dalam toilet umum di mall untuk memaksanya
bertukar busana. Pasalnya Laras tengah melarikan putrinya yang gagu,
Ambar, dari suaminya si germo Salep, dan ia mesti menghindari
kejaran para preman. Selanjutnya kedua wanita yang bertolak-belakang
pemikiran dan prinsip hidup, bahkan secara fisik kelewat kontras
(Kin berjilbab manis, Laras berambut cepak dengan body tegap sangar)
ini justru bersahabat dan mengarungi sebuah malam panjang yang penuh
petualangan seru!
Hakekatnya
inti film ini memang bak sebuah cerpen, karena durasi peristiwa
memang hanya semalam, namun mampu mengembangkan kepribadian kedua
wanita itu, mencerahkan dalam kesadaran baru. Perbantahan dan
argumentasi antara mereka memang cukup cerdas, walau kita tidak tahu
jelas apa latar belakang tokoh Laras. Cuplikan dialog menarik mereka,
“Lima cincin dalam perkawinan; engaged ring, wedding ring,
boring, suffering dan torturing. Kau empat
tahun kawin, jadi sampai ke boring!” oceh Laras. Didebat
Kinaras yang tetap mendambakan keutuhan rumah-tangganya dengan
ataupun tanpa anak, “Untuk yang keempat dan kelima sebaiknya adalah
caring dan sharing!”
Pesan moral,
bahwasanya rasa cinta dan benci itu hakekatnya berada di dalam diri
kita sendiri karena yang menciptakannya adalah kita sendiri juga.
Uniknya
produser Intan Kieflie selain
mendirikan PH Anak Negeri Indonesia sejak tiga tahun lalu (telah
memproduksi 19 ftv) dan bikin debut di dunia film bioskop lewat film
ini, sekaligus juga merangkap bermain untuk pertama kalinya sebagai
pemeran utamanya, sang Muslimah. Beradu akting dengan Sausan
Machari yang sudah dikenal sebagai
pemeran cewek sangar pecandu narkoba lewat Detik-detik Terakhir
(2007).
Didapuk
menjadi tokoh germo yang tetap sayang anak, Dwi Sasono,
walau anehnya juga ingin terus menjual istrinya pada para kliennya.
Konyolnya, para anak buah si germo kendati semuanya bertampang
beringas toh kelewat gampang dipecundangi Laras yang hanya bermodal
sebilah pisau lipat (!). Sedangkan suami si Muslimah yang dicemburui
diperani oleh Mike Lucock
(yang belum lama kita lihat bermain keras sebagai teroris dalam
Java Heat). Tentang benar- tidaknya Asmaradhana berselingkuh
dengan sahabat istrinya sendiri ditempelkan pada epilog setelah
cerita film selesai. Adapun bocah perempuan gagu yang diperebutkan
dipercayakan pada pendatang baru Nayyara Laluntia.
Sutradara muda
Reka Wijaya memang belum bikin
film yang cukup mengesankan pada tiga karya film komedi sebelumnya (Planet
Mars, Tarzan ke Kota, dan Sule Detektif Tokek),
namun sekarang lewat Hati ke Hati boleh dibilang berhasil
menggarap sebuah film unik dengan berbagai problema kompleks. Sesuai
alur cerita keseluruhan lokasi memang di Jogjakarta dan sekitarnya
termasuk Imogiri, Kaliurang, Parangtritis, dan Magelang. Lokasi yang
termasuk jarang digunakan dalam film bioskop namun hampir setiap
malam bisa kita lihat di layar televisi. Hal inilah justru yang
membuat film ini tak beranjak terlalu jauh dari program ftv….. ***
- Nilai: 50
|